Tantangan Moral di Era Disrupsi
Jurnalkitaplus - Era disrupsi digital dan media sosial telah menghadirkan tantangan signifikan terhadap pembentukan karakter dan akhlak. Profesor Dr. Syamsul Arifin, Guru Besar Pendidikan Akhlak UIN Mataram, memandang penting adanya revitalisasi pendidikan akhlak di era peradaban digital ini.
Saat ini, pengaruh media telah menjadi pilar pendidikan baru, melengkapi peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial. Riset menunjukkan bahwa 98% milenial dan Gen Z aktif menggunakan internet. Namun, kondisi ini membawa risiko besar, karena media dapat membentuk karakter buruk jika tidak didampingi dengan baik.
Fenomena tindakan-tindakan immoral yang sering terjadi menjadi indikasi kuat (warning) bahwa pendidikan akhlak harus segera direvitalisasi. Tindakan immoral ini bahkan diprediksi akan terus meningkat seiring menguatnya era peradaban digital.
Akhlak Sebagai Inti Keberhasilan Pendidikan
Dalam konteks pendidikan Islam, akhlak memiliki kedudukan sentral yang melebihi penyampaian ilmu semata. KH M Anwar Manshur, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, menekankan bahwa hakikat tugas seorang guru tidak hanya sekadar ta’lim (mengajar ilmu), tetapi juga tarbiyah (mendidik dan membentuk akhlak). Beliau menegaskan bahwa keberhasilan seorang guru tidak semata diukur dari sejauh mana materi dapat tersampaikan, melainkan dari keberhasilannya membentuk akhlak santri dan menjaga kesinambungan ilmu.
Misi utama guru, sebagai muallim (pendidik), adalah membentuk karakter unggul pada generasi muda. Misi ini selaras dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia (Li utammima makarimal akhlaq). Rasulullah SAW sendiri memiliki akhlak yang agung dan terpuji, sebagaimana dipuji dalam Surah Al-Qalam ayat 4. Pendidikan akhlakul karimah (perilaku baik dan mulia yang bersumber dari nilai-nilai Islam) adalah tanggung jawab besar bagi orang tua dan pendidik.
Ancaman Digital Terhadap Karakter
Hubungan dunia manusia di era digital dimediasi oleh internet dan komunikasi seluler, yang menghasilkan nilai, norma, dan praktik perilaku baru yang berpotensi mengubah sifat manusia.
Jika pendidikan akhlak tidak dilaksanakan kembali pada jati dirinya yang bersifat intrinsik, hasilnya akan stagnan. Masyarakat digital berpotensi mengalami hal-hal negatif seperti:
1. Kekosongan eksistensial.
2. Disorientasi aksiologis (nilai) dalam ranah nyata.
3. Deformasi esensi komunikasi interpersonal karena virtualisasi aspek sensual dan emosional.
4. Munculnya bentuk-bentuk kebebasan baru yang menyimpang.
Akibatnya, seseorang dapat mendapati ketidakpastian moral (merasa tidak mampu mencegah dan menjawab pertanyaan moral) dan kerugian moral (tidak mengetahui kewajiban, hak, dan tanggung jawab moralnya sendiri atau orang lain). Selain itu, terjadi pergeseran otoritas keagamaan, di mana informasi instan dari media sosial sering lebih dipercaya daripada ulama atau guru, menciptakan fenomena "mendadak ustaz" tanpa proses belajar mendalam.
Strategi Membangun Karakter Unggul
Untuk mencetak generasi unggul yang siap menghadapi tantangan zaman, peran guru dan orang tua harus diperkuat melalui beberapa langkah strategis:
1. Revitalisasi Pendidikan Intrinsik: Pendidikan akhlak harus kembali pada jati diri yang bersifat intrinsik. Hal ini memerlukan kajian filosofis yang mendalam mengenai akhlak dalam dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Guru Sebagai Teladan (Role Model): Guru harus menjadi teladan (role model) dalam menanamkan kejujuran, integritas, dan kedekatan dengan Allah. Di tengah maraknya perilaku negatif figur publik, guru harus mendidik dengan hati. Orang tua juga harus terus berupaya menjadi pribadi yang baik agar menjadi contoh bagi anak-anak mereka.
3. Keseimbangan Teknologi dan Moral: Guru di era disrupsi harus mampu menjaga akhlak mulia sekaligus menguasai teknologi. Sebagai ilmuwan, guru harus menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), termasuk STEM, agar relevan dengan kebutuhan zaman. Guru juga diminta mengajarkan materi baru, seperti keterampilan digital, untuk menjawab tantangan pekerjaan modern seperti content creator.
4. Bimbingan Media: Guru dan orang tua harus membimbing anak agar cerdas bermedia dan mampu memilih konten positif.
5. Penerapan Tarbiyatul Akhlaq: Pentingnya pendidikan spiritual dan pembinaan akhlak, seperti mengajarkan kejujuran dan rasa syukur. Karakter dapat dibangun melalui habituasi (kebiasaan) baik, seperti bangun pagi, beribadah, belajar, hingga bermasyarakat.
Mengutip Ali bin Abi Thalib, "Jangan mendidik anak dengan cara lama, karena mereka hidup di zaman yang berbeda". Oleh karena itu, konsistensi metode dan wawasan luas sangat diperlukan [16, 18]. Tujuannya adalah mencetak lulusan yang "ulama intelektual", kuat secara agama dan juga intelektualitas.
Analogi Penutup:
Pendidikan akhlak di era digital dapat diibaratkan seperti memasang kompas moral pada kapal yang berlayar di lautan internet yang luas dan penuh badai. Ilmu pengetahuan (ta’lim) adalah mesin yang mendorong kapal, namun tanpa kompas akhlak (tarbiyah), kapal tersebut berisiko tersesat, terdampar pada pulau-pulau kebebasan menyimpang, atau bahkan karam oleh gelombang disrupsi dan informasi yang menyesatkan. Hanya dengan kompas yang tertanam kuat (intrinsik), karakter unggul dapat mencapai tujuan dengan selamat. (Dikurasi oleh FG12)
Sumber :

